Sekolah sepak bola …. Olahraga memungkinkan individu atau tim bersaing secara sehat, dalam artian diatur oleh peraturan-peraturan berlandaskan sportivitas. Setinggi-tingginya tensi dan sebrutal-brutalnya narasi persaingan yang dibangun dalam sebuah pertandingan, tetap saja ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Hal ini yang memungkinkan olahraga juga dikenal sebagai ‘agen kebaikan’. Bagaimanapun, peraturan tetaplah seonggok tulisan yang penuh celah, begitu juga dengan ide yang disebut sebagai ‘Fair Play’.
Salah satu kontroversi yang mungkin masih segar dalam ingatan adalah yang terjadi pada Piala Dunia 2018. FIFA selaku pemegang otoritas tertinggi yang mengatur cara sepakbola dimainkan menerapkan aturan baru bernama Fair Play. Kartu kuning bernilai -1, kartu merah (kuning 2x) -3, dan kartu merah langsung -4.
Intinya mudah, kesebelasan yang mendapatkan paling sedikit peringatan (kartu kuning dan kartu merah) dianggap lebih baik dan berhak menempati kedudukan yang lebih tinggi ketimbang lawannya dalam fase penyisihan grup. Tentu saja, sistem ini baru digunakan jika jumlah poin dan selisih gol antara tim-tim yang bersangkutan tak cukup untuk menentukan pemenang.
Mereka yang melek peraturan adalah mereka yang diuntungkan. Dalam kasus ini, Jepang menjadi kesebelasan yang memaksimalkannya.
Matchday ketiga Grup H menjadi momen hidup dan mati bagi Kolombia, Senegal, dan Jepang. Mereka semua masih berpeluang lolos ke fase gugur. Kolombia dan Senegal saling berhadapan, sedangkan Jepang menghadapi Polandia yang sudah dipastikan tersingkir.
Samurai Biru sebenarnya berada (sedikit) di atas angin dalam laga ini. Mereka dan Senegal sama-sama mengoleksi empat poin, sedangkan Kolombia mengantungi tiga poin. Artinya, hasil imbang sudah cukup untuk membawa Jepang melenggang ke babak 16 besar apapun hasil di laga antara Kolombia dengan Senegal. Tetapi, seperti kata pepatah yang terkenal: bola itu bundar. Semua hal bisa terjadi.
Menit demi menit berlalu, Jepang justru berada dalam tekanan. Mereka tertinggal 0-1 pada menit ke-59 akibat gol Jan Bednarek. Situasi ini tidak ada di dalam skenario. Jika Kolombia dan Senegal berbagi angka, maka Jepang yang akan angkat koper dari Rusia lebih cepat.
Angin harapan itu tiba memasuki menit ke-74. Kolombia unggul berkat gol Yerry Mina. Pelatih Jepang, Akira Nishino, langsung melakukan pergantian pemain enam menit kemudian. Ia menarik penyerang Yoshinori Muto dan memasukkan bek veteran Makoto Hasebe.
Perlu dipahami bahwa Jepang dan Kolombia memiliki poin (empat) dan selisih gol (nol) yang identik. Perbedan antara keduanya hanya terletak pada jumlah kartu. Jepang mengoleksi tiga kartu kuning, sedangkan Senegal memiliki dua kartu kuning lebih banyak.
Seiring dengan masuknya Hasebe, permainan yang digelar di Arena Volgogard itu mendadak pasif. Jepang enggan keluar menyerang. Mereka hanya ingin memastikan bisa membuang bola sejauh mungkin dari kiper Eiji Kawashima tanpa perlu mengambil risiko yang berlebihan. Tidak boleh kemasukan, tidak boleh mendapatkan kartu kuning.
Sialnya, bagi para penonton, Polandia juga nampak sudah berpuas diri dengan hasil ini. Kepastian bahwa mereka telah tersingkir membuat tiga poin pun menjadi oleh-oleh terbaik bagi masyarakat di kampung halaman. Mereka tidak ingin menyerang secara berlebihan. Alhasil, laga menjadi membosankan karena kedua tim sudah sama-sama tidak ingin bermain.
Statistik Opta menunjukkan bahwa bola hanya berada di pertahanan Jepang sebanyak 11,1% dan di area pertahanan Polandia 2,45% dalam lima menit terakhir pertandingan. Jepang bahkan tidak sekalipun menyentuh bola di sepertiga akhir lapangan. Ketika peluit panjang berbunyi, Jepang pun tertawa.
Senegal tidak bisa berbuat banyak. Pelatih Aliou Cisse berbesar hati menerima fakta pahit bahwa Jepang tidak bermain untuk menang. “Senegal tidak lolos bukan karena tidak pantas. Inilah hidup,” tutur dirinya.
Esensi dari kebaikan adalah kejujuran dan ketulusan. Prinsip-prinsip itu diterjemahkan dalam nilai sportivitas yang mengajarkan bahwa kemenangan harus diraih dengan cara-cara berimbang.
Pun demikian, kita terkadang lupa bahwa kebaikan, sekalipun telah berusaha diaplikasikan dengan pelbagai modifikasi, tetaplah tidak hanya hitam dan putih. Kompetisi olahraga memiliki satu tujuan: menjadi juara. Jadi, selama masih mematuhi peraturan boleh disebut “fair play”, kan?