Olahraga si kulit bundar memang menyajikan banyak kisah menarik didalamnya, dibalut dengan antusiasme menggebu, gairah maksimal dan banyak hal yang menyajikan kepuasan adrenalin dan jiwa didalamnya. Sepakbola dan saudara mudanya “Futsal” tidak hanya menjadi olahraga paling digemari, tapi juga sudah menjadi gaya hidup bagi banyak orang. Ditengah puja puji oleh olahraga ini, masih banyak saja segelintir orang yang ingin merusaknya, mulai dari rasisme, skandal pengaturan skor bahkan sampai diskriminasi gender. Ya masih banyak yang menganggap Sepakbola dan Futsal tercipta untuk Laki-laki!. Lalu bagaimana dengan perempuan? Apakah olahraga ini bisa dinikmati oleh perempuan? Jawabannya tentu saja sangat boleh, namun masih ada pandangan seksis yang faktanya sangat terlihat di olahraga ini. Bahkan masih banyak saja media yang melihat sepakbola perempuan bukan dari prestasinya, tapi malah terjebak hanya untuk mengeksploitasi parasnya demi rating.
Soal seksisme, contoh yang paling mudah didapat adalah soal Piala Dunia Perempuan (women’s world cup) . Ajang berebut supremasi bagi para pesepak bola perempuan ini baru muncul ketika abad ke-21 sudah hampir kelar, yakni pada tahun 1991. Padahal, lebih dari enam dekade sebelumnya, ide Jules Rimet tentang kompetisi sepakbola antar negara sudah terejawantahkan dan menjadikan Uruguay (laki-laki) menjadi juara dunia di pagelaran perdana.
Meski baru pertama kali digelar 25 tahun silam, Piala Dunia Wanita sebenarnya sudah mulai bisa mendapat tempat di kalangan pencinta sepak bola, tentunya karna kualitas permainan yang disajikan, Tidak percaya ? coba cek gol Carli Lloyd pada final Piala Dunia Wanita 2015 lalu! anda akan sangat familiar dengan gol ini, dari tengah lapangan. Yaps seketika anda akan percaya ini seperti gol David Beckham saat melawan Crystal Palace atau Gol Iconic Wayne Rooney dari tengah lapangan yang pernah dicetaknya untuk MU dan Everton. Atau gocekan samba dari pesepakbola perempuan Brazil Marta, yang pernah dan sering mencetak goal dengan gocekan dan solo run magisnya. Cek juga penyelamatan yang pernah dilakukan kiper timnas perempuan Amerika Serikat Hope Solo, refleksnya selevel dengan kiper kelas dunia yang sering kita lihat.
Besar Lewat Ironi
Bicara soal sepak bola wanita berarti bicara soal Amerika Serikat. Soal bagaimana negara itu memperlakukan olahraga dan bagaimana sepak bola mereka “singkirkan” untuk menjadi “olahraganya perempuan.” Soal bagaimana perpaduan chauvinisme dan seksisme itu kemudian justru menjadi jalan pembuka bagi popularitas sepak bola wanita.
Citra sepak bola di Amerika memang agak kurang menyenangkan. Jika dulu olahraga ini disebut sebagai olahraganya kaum komunis, pada perkembangannya olahraga ini kemudian berubah menjadi olaharaganya orang-orang kaya dan manja dari suburban. Istilah soccer mom pun muncul di Amerika untuk menyebut ibu rumah tangga kelas menengah ke atas yang setia mengantar anak-anak (perempuan)nya bermain sepak bola dengan mengendarai van merek Volvo.
Namun, dari tempat “kaum yang dianggap lemah” ini, muncullah juara-juara dunia seperti Mia Hamm, Michelle Akers, hingga Carli Lloyd. Hal ini bisa terjadi karena pada dasarnya, Amerika adalah negara yang begitu menggandrungi olahraga. Jika para perempuan itu memang tak punya tempat di American football, maka soccer-lah yang kemudian menjadi olahraga nasional kaum perempuan tersebut.
Gemerlapnya Major League Soccer saat ini pun, tidak bisa mendongkrak prestasi tim nasional sepakbola Laki-laki Amerika Serikat yang paling bagus melangkah sampai perempat final, bahkan untuk piala dunia 2018 pun Christian Pulisic dkk harus rela hanya menjadi penonton saja. Bagaimana dengan Negara asia ? coba tengok dan bandingkan prestasi timnas laki-laki Jepang dan TImnas perempuan Jepang, mana yang mempunyai prestasi lebih berkilau dikancah dunia ?
Perjuangan Tidak Berhenti di Sini
Ada semacam koherensi antara kemajuan sepak bola perempuan dengan semakin kencangnya penyuaraan terhadap kesetaraan gender. Sekarang, seiring dengan progres yang dibuat oleh gerakan feminisme, sepak bola wanita pun semakin mampu diterima secara luas.
Jika dulu Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) pernah melarang sepak bola wanita selama 50 tahun (1921-1971) karena dianggap “tidak berkelas” dan “mengancam maskulinitas sepak bola”, namun kini FA mulai membenahi sepakbola putri, bahkan gelaran kompetisi sekelas premier league sudah rutin diadakan dan hampir tim besar seperti Chelsea, Arsenal, Manchester United dll memiliki tim putrinya.
Contoh lain, di gelaran final Piala Afrika Wanita 2016 lalu antara Nigeria dan Kamerun, Stadion Ahmadou Ahidjo di Yaounde, Kamerun, terisi penuh. Antusiasme semacam inilah yang belakangan mulai jadi pemandangan jamak di persepakbolaan wanita.
Akan tetapi, meski tren yang ditunjukkan sudah semakin membaik, sepak bola wanita masih memiliki banyak sekali tantangan yang harus dihadapi. Masalah-masalah seperti gaji yang dirasa masih terlalu njomplang angkanya dengan para pesepak bola pria serta keengganan federasi untuk mengurusi masalah sepak bola wanita karena dirasa tidak menguntungkan secara finansial masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi persepakbolaan wanita.
Ketidakadilan itu juga terlihat di tubuh Federasi Sepakbola Dunia, FIFA. Salah satu contonya seperti saat Jumlah total hadiah yang diberikan oleh FIFA pada edisi terakhir Womens World Cup (2018) adalah 24 juta atau sekitar Rp434 miliar. Angka itu jelas jauh lebih kecil daripada hadiah Piala Dunia untuk laki-laki tahun 2018 lalu di Rusia yang mencapai 315 juta pound (Rp5,6 triliun). Jumlah total hadiah yang diberikan FIFA untuk Piala Dunia Wanita terus mendapat sorotan. Salah satunya kritik datang dari pemain Norwegia, Ada Hegerberg, dan kapten kedua Amerika Serikat, Megan Rapinoe melayangkan kritik serupa.
Bagaimana di Tanah Air ?
Jika di negara yang sudah memiliki timnas dan liga profesional masalah tata kelola menjadi bahan perdebatan utama, maka ada pula negara yang bahkan bahan perdebatannya pun tak punya. Indonesia, contohnya.
Timnas Putri Indonesia sebenarnya sudah menjalani pertandingan perdana mereka pada tahun 1977. Delapan tahun lebih dulu dibanding USWNT yang akhirnya berhasil menjadi juara dunia tiga kali. Ketika itu pun, srikandi-srikandi Indonesia berhasil mengakhiri turnamen di peringkat keempat. Kemudian, pada tahun 1986, para pemain timnas yang bermain di Liga Sepak Bola Wanita (Galanita) itu juga berhasil mengulangi prestasi tahun 1977 dengan lolos ke semfinal Piala Asia perempuan.
Sayang, sepak bola perempuan di Indonesia justru kemudian terlalu sering mengalami mati suri. Tak jarang, Indonesia bahkan tidak memiliki tim nasional perempuan sama sekali.
Pada gelaran Piala AFF Women’s Cup tahun 2015 lalu, timnas perempuan yang diasuh Rully Nere gagal lolos dari fase grup dan bahkan sempat dibantai Thailand 1-10. Akan tetapi, perlahan, upaya untuk mengurusi sepak bola perempuan di Indonesia kini mulai menunjukkan gelagat positif. Begitu juga dicabang olahraga saudarinya Futsal, Yang mungkin diingat saat Timnas Futsal Putri mengikuti turnamen bergengsi AFC Futsal Cup 2018 di Thailand,dan meraih hasil yang lumayan baik. Namun pandemi kembali membuat masa depan sepakbola dan futsal putri belum menemukan titik cerah kembali.
Padahal, geliat sepak bola perempuan yang sudah mulai menjadi salah satu atraksi olahraga terbesar di kancah dunia, dan mulai muncul kembali di Indonesia. Meski begitu, jalan yang harus ditempuh masih sangat, sangat panjang , terlebih dengan adanya pandemi yang datang sejak akhir tahun 2019 lalu. Jika sepak bola pria yang nyaris selalu punya aktivitas saja prestasinya masih memprihatinkan, tentu tantangan bagi persepakbolaan perempuan akan jauh lebih berat.
Di wilayah Asia Tenggara saja, persaingan sudah begitu berat mengingat Thailand pun kini sudah memliki tim nasional perempuan yang sudah mampu bersaing di tingkat dunia. Maka dari itu, untuk sementara waktu, target untuk juara macam-macam di kompetisi internasional memang perlu dikesampingkan dulu, karena dengan kompetisi dan pembinaan dalam negeri yang bagus, tanpa harus dicari pun, trofi akan datang dengan sendirinya.
Namun, berkaca dari pengalaman USWNT ketika menjuarai Piala Dunia 1991 tanpa dukungan memadai dan sorot lampu kamera, barangkali diam diam mungkin Timnas Putri Indonesia bisa membuat kejutan. Semoga saja.
Jayalah Perempuan Indonesia, Kami percaya karna kita setara dan sepakbola untuk semua.
Selamat Hari Perempuan Sedunia. Kejarlah Mimpimu!