Pelatih Rinus Michels geleng-geleng kepala di pinggir lapangan. Ia terkejut sekaligus takjub melihat tendangan voli Marco van Basten ke gawang Uni Soviet di final Piala Eropa 1988. Sulit bagi Michels untuk mencerna momen genius itu.

Diawali umpan silang Arnold Muhren dari sisi kiri, Van Basten kemudian menyambut bola dengan tendangan voli kelas dunia. Hebatnya lagi, tendangan itu dilakukan dari sudut sempit dan mengarah ke tiang jauh.

icara Van Basten pasti tak jauh-jauh dari prestasi. Tiga Ballon d`Or dan satu gelar pemain terbaik FIFA jadi bukti kehebatannya. Pada periode 1980-an hingga akhir 1990-an, dia adalah jaminan gol dan trofi.

Ajax Amsterdam, AC Milan, dan timnas Belanda merasakan betul ketajamannya. Dari 373 kali berlaga, ia mampu mencetak 277 gol. Artinya, persentase gol Van Basten per laga mencapai 74 persen.

 

Bersama Van Basten, Ajax menyabet banyak gelar mulai dari 3 Eredivisie, 3 KNVB Cup dan 1 UEFA Cup Winners Cup. Pun begitu saat membela AC Milan. Dia memenangi 3 gelar Serie A, 2 Super Coppa, 2 Liga Champions, 1 Piala Super Eropa, dan 2 Piala Interkontinental.

Julukan Si Angsa

Satu hal yang menarik dari Marco van Basten adalah julukannya sebagai Angsa dari Utrecht. Apa hebatnya dijuluki angsa? Angsa itu bukan hewan gagah, ia cuma galak.

Namun, ada satu sisi angsa yang dianalogikan mirip dengan Van Basten, yakni keanggunan. Gaya main Van Basten memang begitu anggun di lapangan.

Penulis asal Belanda, Zeger van Herwaarden, dalam bukunya berjudul “Marco van Basten: De Jaren in Italic en Oranye” menjelaskan, sebagai penyerang, Van Basten bukan tipe pesepak bola yang menyukai basa-basi. Ia tumbuh menjadi pesepak bola yang “kejam”.

Kekejaman Van Basten sebagai pesepak bola diwujudkan dengan permainan efektif, namun tetap “cantik”. Karena itulah, publik memberinya julukan Angsa dari Utrecht.

Other Articles

sekolah bola artikel

Leave a Reply