Pada 2013, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tanggal 6 April sebagai “International Day of Sport For Peace and Development”. Lewat penetapan itu, mereka mengajak negara-negara yang tergabung dalam PBB, organisasi internasional, organisasi olahraga nasional, masyarakat sipil, serta organisasi non pemerintah, untuk bersama-sama memperingati dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Hari Olahraga Internasional untuk Pembangunan dan Perdamaian.
Peringatan ini dimaksudkan untuk merayakan kontribusi yang telah diberikan olahraga dan aktivitas fisik lainnya kepada pendidikan, gaya hidup sehat, hingga perdamaian dunia. Hal ini mengingat peran olahraga yang sangat besar di tengah kehidupan masyarakat maupun hubungan antarnegara. Olahraga diakui sebagai alat yang ampuh dalam mengupayakan terciptanya perdamaian; olahraga dapat merepresentasikan persahabatan di antara negara-negara.
Selain itu, olahraga juga dinilai merupakan bahasa universal yang dapat digunakan untuk mempromosikan toleransi, keadilan, perdamaian, serta kesetaraan. Beberapa nilai intrinsik yang terkandung dalam olahraga seperti disiplin, adil, respek kepada lawan, dapat dipahami oleh seluruh dunia dan bisa dimanfaatkan untuk mempererat hubungan sosial dan meningkatkan rasa solidaritas pada sesama.
Walaupun olahraga belum bisa dimanfaatkan dalam menangani konflik yang sudah kadung terjadi, olahraga dapat menjadi pendorong perdamaian ketika konflik sudah selesai. Hal ini sama bermanfaatnya ketika olahraga digunakan sebagai alat pencegah konflik.
Sepakbola, sebagai salah satu olahraga paling populer di muka bumi, tentu memiliki kekuatan besar dalam berkontribusi mewujudkan apa yang menjadi cita-cita International Day of Sport for Peace and Development. Badan sepakbola dunia, FIFA, juga pernah memperingati hari tersebut dengan beberapa program yang mereka luncurkan.
Pada 2016 FIFA memperkenalkan Diversity Award, sebuah penghargaan yang diperuntukkan untuk mereka—baik organisasi, kelompok, atau pesepakbola—yang berdiri membela keberagaman dan menginspirasi persatuan. Sebuah organisasi non pemerintah bernama India Slum Soccer adalah peraih perdana penghargaan tersebut.
Pada 2017 lalu, di Zurich, FIFA juga menghelat sebuah acara bertemakan “Membuat Kesetaraan Menjadi Kenyataan”. Acara itu bertujuan untuk menyatukan mereka yang teguh dalam bersuara memperjuangkan masyarakat yang adil dan menghapuskan diskriminasi.
Namun, terlepas dari acara-acara yang bersifat seremonial tersebut, sebenarnya bentuk paling murni dari nilai-nilai perdamaian dan kesetaraan yang dipromosikan oleh sepakbola itu sendiri, bisa kita ambil dari fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan hijau. Contohnya, kita bisa mengambil pelajaran ihwal keberagaman dan tentang betapa konyolnya rasisme itu, dari beberapa fenomena yang terjadi di dalam sepakbola.
Harus kita akui bahwa sepakbola tidak bersih dari rasisme. Banyak kasus-kasus rasisme terjadi di lapangan hijau.
Yang mungkin masih segar dalam ingatan kita adalah ketika Luis Suarez menyebut kata “negro” kepada Patrice Evra, di pertandingan antara Liverpool kontra Manchester United, pada 2011 silam. Karena perbuatannya tersebut, Suarez dihukum dengan larangan bermain selama delapan pertandingan serta denda sebesar 40 ribu paun.
Pada 2014, giliran Dani Alves yang menjadi korban rasisme. Saat itu, Alves yang masih membela Barcelona, dilempari buah pisang—buah yang identik sebagai makanan monyet—oleh suporter Villareal ketika ia hendak mengambil tendangan pojok. Namun respon elegan ditampakkan Alves, dengan dingin ia memakan pisang yang dilemparkan suporter tersebut.
Jauh ke belakang pada 2005, mantan pelatih tim nasional Spanyol, Luis Aragones, juga pernah mengeluarkan kata-kata rasis saat Spanyol akan menjalani laga ujicoba melawan Prancis. Ketika itu, Aragones sedang memotivasi striker Spanyol, Jose Antonio Reyes, agar bisa tampil lebih baik dari Thierry Henry. Namun yang bermasalah, Aragones memotivasi Reyes dengan kata-kata, “Beritahu orang negro itu bahwa kamu jauh lebih baik darinya. Jangan ragu, beritahu dia. Beritahu dia untuk saya. Kamu harus percaya diri bahwa kamu jauh lebih baik dari orang negro itu.”
Tentunya masih banyak kasus-kasus rasisme lain yang terjadi di lapangan hijau. Entah itu dilakukan kepada sesama pemain, suporter ke pemain, atau pelatih ke pemain. Tapi ada yang lebih berbahaya dari kasus rasisme yang terjadi langsung di lapangan, ia adalah sikap rasis yang tidak terasa menyelinap ke dalam pikiran kita masing-masing—walaupun pemikiran rasis itu tidak kita ucapkan atau tuliskan langsung.
Contoh sederhana dari hal ini adalah, mungkin di antara kita sebagai penikmat sepakbola, ada yang pernah menganggap bahwa kesuksesan yang sering diraih Tim Nasional Jerman di setiap turnamen dunia yang mereka ikuti, adalah karena mereka punya ‘mental pemenang’ dibanding tim nasional lain. Atau seperti kata wartawan dan penulis sepakbola Jerman, Ulrich Hesse, “karena mereka adalah Jerman”.
Selain sudah jelas anggapan tersebut absurd, secara tidak langsung anggapan seperti itu juga mengandaikan bahwa hanya Tim Nasional Jerman yang memiliki mental pemenang—seakan mental tersebut tidak bisa dimiliki oleh Portugal, Ghana, Australia, atau Jepang.
Secara tidak sadar pula, dengan anggapan seperti itu, kita telah menggaungkan kembali ihwal mitos superioritas bangsa Jerman dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Sebuah mitos yang di masa lalu telah menyebabkan banyak orang Yahudi dan Afrika di Jerman menderita.
Lagi pula, apakah Tim Nasional Jerman sendiri murni diisi oleh pemain-pemain dengan darah Jerman yang berambut pirang, berkulit terang, dan bermata biru itu? Tidak usah jauh-jauh, di Piala Dunia 2014, ketika mereka berhasil menjadi juara saja, skuat Tim Nasional Jerman dihiasi oleh wajah-wajah yang begitu multikultur.
Mereka dihiasi wajah berkulit legam dengan bahu lebar nan kokoh khas Afrika dalam diri Jerome Boateng, oleh wajah yang akrab kita temui di sinetron drama Turki dalam diri Mesut Ozil, hingga wajah dengan alis tebal kearab-araban dalam diri Sami Khedira.
Ini persis seperti apa yang terjadi pada tim nasional Prancis kala mereka menjuarai Piala Dunia 1998. Ketika itu, mereka pun dihiasi oleh pemain-pemain keturunan dari pelbagai penjuru dunia.
Saat itu ada Patrick Vieira dengan kulit legamnya yang merupakan keturunan Senegal. Ada juga striker andalan mereka saat itu, Thierry Henry yang memiliki darah Kepulauan Karibia dari sang ayah. Lalu ada David Trezeguet yang mengalir darah Argentina di dalam tubuhnya. Dan tentu saja, pemain terbaik mereka ketika itu yang merupakan keturunan Aljazair, Zinedine Zidane.
Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa ide tentang adanya satu bangsa yang secara khusus memiliki DNA mental juara, mental pemenang, atau mental sebagai yang terbaik di atas yang lain, hanyalah khayalan belaka. Karena pada dasarnya, setiap orang dari ras dan bangsa manapun, berkesempatan sama terbukanya untuk memiliki mental pemenang dan menjadi pemenang.
Apa yang ditunjukkan oleh Tim Nasional Jerman di Piala Dunia 2014 dan tim nasional Prancis di Piala Dunia 1998, adalah bukti bahwa ide tentang kehebatan ras tertentu dalam suatu negara-bangsa, akan selalu kalah dan tak berlaku di dalam sepakbola. Dan oleh karenanya, sikap rasis—baik yang terjadi di lapangan maupun yang masih bersembunyi dalam pikiran—adalah kekonyolan yang sudah seharusnya kita hindari dan buang jauh-jauh.
Ditambah lagi, sebetulnya dalam permainan sepakbola itu sendiri sudah terpancar nilai-nilai tentang keberagaman, kesetaraan, dan keadilan. Karena dalam sepakbola, siapa pun berkesempatan untuk menjadi pemenang, tak peduli ia berkulit gelap atau terang.